![]() |
Petugas SPBU siap-siap memasang harga baru BBM |
Di Sleman, Yogyakarta bulan ini baru musim rambutan,
begitu juga dengan pohon-pohon rambutan milik Pak Bambang yang jumlahnya sampai
20 pohon di belakang rumah. Pak Bambang berniat untuk menjual rambutan itu ke
pasar maka beliau meminta tolong Agus dan Yono untuk memanen semua rambutan
yang ada.
Untuk keperluan memanen rambutan tersebut, Agus dan
Yono meminta upah 1 juta rupiah untuk mereka berdua. Setelah sehari penuh
bekerja maka semua pohon rambutan sudah dipanen. Setelah ditimbang ternyata hasil
panen rambutan itu adalah 2 ton.
Sebelum menjual rambutan tersebut ke pasar, Pak
Bambang mendapat informasi dari RRI Yogyakarta bahwa harga rambutan di pasar
Sleman saat ini adalah Rp. 5.000/kg. Setelah dihitung-hitung maka berikut ini
perhitungan yang dibuat Pak Bambang:
- Biaya panen rambutan: 1 juta / 2 ton = Rp. 500/kg
- Harapan hasil penjualan di pasar: 2 ton x Rp. 5.000 = Rp. 10.000.000,-
- Harapan keuntungan yang didapat (harga pasar – biaya panen): Rp. 4.500/Kg = Rp. 9.000.000,-
Sebelum Pak Bambang menjual hasil panen rambutannya
ke pasar, ternyata anaknya yang bernama Ani meminta rambutan tersebut untuk
dimakan dan sebagian diberikan sebagai oleh-oleh ke temannya. Ani meminta
sebanyak 5 Kg.
Berikut
percakapan antara Bapak dan Anak tersebut:
Ani : Ayah,
Ani boleh gak minta rambutannya 5 Kg. kalau gak boleh Ani mau beli deh…
Bambang : Ani sayang,
emang Ani punya duit berapa kalau mau beli rambutan Ayah?
Ani: Ani punya
duit 10 ribu Ayah…
Bambang : Kalau
Ani mau beli 5 Kg seharusnya Ani bayarnya 25 ribu, karena harga rambutan ini
sekarang di pasar harganya 5 ribu/Kg lho..
Ani: Tapi Ani
hanya punya 10 ribu Ayah, apakah Ani boleh beli rambutan itu 10 ribu untuk 5
Kg? kan rambutan itu juga dipanen dari kebun kita sendiri, dan biaya panennya
hanya Rp. 500/Kg?
Bambang:
Memang biaya panennya hanya Rp. 500/Kg tapi kan seharusnya Ayah bisa untung
lebih besar kalau Ayah jual rambutan ini di pasar, karena Ayah bisa jual Rp.
5.000/Kg. Kalau Ayah jual ke Ani Rp. 10.000 untuk 5 Kg berarti Ayah hanya jual
rambutan ini Rp. 2000/Kg, kalau begitu Ayah rugi Rp. 3.000/Kg dong… :(
Ani: Kok Ayah
gitu sih sama anak sendiri…
Bambang: Ani
sayang, boleh saja Ani beli rambutan ini Rp. 2000/kg tapi itu artinya Ayah
harus memberikan tambahan uang Rp. 3.000/Kg nya yang harus ayah ambil dari
dompet Ayah sendiri. Tapi karena Ani itu anak Ayah, ya tidak apa-apalaah.. ;)
Ani: Yaudah
deh klo gitu, nih Ayah duitnya… (sambil nyerahin duit 10 ribu)
Bambang: nih
rambutannya ya Nak, terimakasih lho sama Ayah karena sudah Ayah tambahin Rp. 3000
tiap kilogramnya..
Ani: Iya Ayah,
makasih yaaa.. Ayah emang orang tua terbaik deh… muach.. muach…
*end*
Pertanyaan untuk Anda:
- Benarkah Pak Bambang mengeluarkan uang sebesar Rp. 15.000,- (3.000 x 5 Kg) dari dompetnya sendiri untuk menambah kekurangan uang Ani?
- Apakah sebenarnya Pak Bambang masih untung ketika Ani "hanya" membayar Rp. 2.000/Kg untuk rambutan itu?
Kamus:
- Rambutan = BBM
- Kebun Sendiri = Bumi Indonesia
- Biaya Panen = Biaya lifting minyak
- Pasar = Pasar Dunia
- Harga Rambutan di Pasar = Harga BBM di Pasar Dunia
- RRI Yogyakartra = Kantor Berita Reuters di New York (satu-satunya kantor berita yang berhak mengumumkan harga minyak dunia tiap harinya)
- Pak Bambang = Pemerintah RI
- Ani = Rakyat Indonesia
- Dompet Pak Bambang = APBN
- Tambahan uang 3000/kg = Subsidi
Kesimpulan :
- Subsidi BBM berupa uang tunai dari APBN sejatinya tidak pernah ada, Apabila harga minyak dunia melambung, maka harga minyak yang kita hasilkan dari perut bumi kita tetaplah Rp. 0. Memang kita harus menghitung biaya produksinya (lifting, dll) tetapi dengan harga premium yang dijual pertamina sekarang ini, pemerintah masih untung tiap liternya karena biaya produksinya masih lebih murah.
- Yang dimaksud subsidi BBM oleh pemerintah hanyalah “keuntungan yang hilang” apabila dibandingkan dengan menjual minyak itu keluar dengan menjual minyak itu di negeri sendiri untuk rakyat sendiri. Inilah prinsip ekonomi yang dikenal dengan “Opportunity Cost” Ilmu ekonomi selalu menghitung “keuntungan atau kesempatan yang hilang” ini berbeda dengan disiplin ilmu akuntansi. ***