Membaca hasil
penelitian Centre for Strategic and
International Studies (CSIS) bahwa mayoritas masyarakat tidak mengenal
wakilnya di DPR atau 81,1 persen responden mengaku tidak mengenal anggota DPR
dari daerah pemilihannya masing-masing (Kompas.com, 1/12/13), membuat saya
tergerak untuk menuliskan artikel ini. Harapannya artikel ini dibaca oleh
anggota DPR, DPRD, maupun caleg yang saat ini sedang berlomba-lomba untuk
mendapatkan kursi terhormat sebagai Wakil Rakyat.
Sekitar akhir tahun
2012 lalu, saya terhenyak ketika mendengar salah satu anggota DPR berbicara
secara personal ke saya bahwa dia tidak pernah tertarik untuk bertemu dengan
konstituennya di daerah pemilihan, bahkan anggota DPR itu berkata tidak ada
manfaatnya ketemu konstituen, tidak ada manfaatnya berdiskusi dengan mereka, kalaupun
bertemu konstituen lebih baik komunikasi satu arah, karena mereka itu bodoh,
tahunya hanya minta uang. Obrolan saya dengan anggota DPR tersebut terjadi di
gedung DPR di Senayan, kebetulan saya atas nama lembaga dimana saya bekerja
sedang melakukan pendekatan ke beberapa anggota DPR untuk membantu mereka
merencanakan reses yang efektif. Obrolan itu sampai sekarang masing jelas
terngiang-ngiang di kepala. Saya khawatir, kalau ternyata banyak anggota DPR
yang punya pola pikir seperti ini, lantas atas nama siapa sebenarnya dia duduk
sebagai wakil rakyat?
Kerangka Representasi Rakyat
Representasi
menjadi isu terpenting dari banyak perdebatan pembentukan lembaga perwakilan di
Indonesia. Perdebatan inilah yang kemudian menghasilkan Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) sebagai lembaga baru yang mempunyai fungsi mewakili daerah pada level
propinsi karena Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dinilai tidak mampu lagi menjadi
wakil dari masyarakat akan tetapi tidak lebih sebagai perpanjangan tangan Dewan
Pimpinan Pusat (DPP) partai politik mereka masing-masing. Kehadiran DPD
sebenarnya menjadi kritik bagi DPR, meskipun demikian, karena peran dan fungsi
DPD yang terbatas, maka DPR masih menjadi satu-satunya lembaga perwakilan yang
bisa berbuat banyak untuk melakukan perubahan.
DPR adalah lembaga
negara yang secara mentereng berhak menggunakan nama “Perwakilan Rakyat”. Tapi
apakah benar setiap anggota yang duduk sebagai wakil rakyat itu benar-benar
mampu menjalankan fungsi sebagai wakil rakyat dalam menyusun undang-undang,
anggaran, maupun dalam melakukan pengawasan?
Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat pada pasal 69 UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang
MPR, DPR, DPD dan DPRD pada ayat (1) adalah legislasi, anggaran, dan
pengawasan. Tiga fungsi inilah yang selalu diingat oleh seluruh anggota DPR,
namun sepertinya mereka lupa bahwa ayat (1) tersebut tidak berdiri sendiri, ada
ayat (2) yang berbunyi “Ketiga fungsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka representasi
rakyat”. Kata “representasi” sendiri
berasal dari bahasa inggris “represent”
yang berarti: mewakili.
Reses Anggota DPR
Salah satu tugas anggota DPR adalah menyerap dan menghimpun aspirasi
konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala, menampung dan
menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat, dan memberikan
pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah
pemilihannya. Tugas ini dilaksanakan dengan kegiatan reses yang dilakukan yang
secara rutin 4 kali dalam satu tahun dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit
setiap resesnya. Jumlah uang reses berkisar 150 Juta rupiah untuk setiap kali
reses belum termasuk uang transport sebagaimana dikonfirmasi Saan Mustofa
(Fraksi Partai Demokrat) kepada saya beberapa waktu lalu. Namun faktanya lebih
banyak anggota DPR yang hanya mengantongi uang tersebut untuk keperluan
pribadinya masing-masing dan lebih sedikit lagi anggota DPR yang berani
mempertanggungjawabkan uang reses kepada publik. Bahkan banyak anggota DPR
menggunaakan uang reses untuk membeli mobil sebagaimana testimoni Ramadhan
Pohan salah seorang anggota DPR RI pada bulan Juli 2013 yang lalu.
Hubungan DPR dengan Konstituen
Tumpukan proposal permohonan bantuan dana ini adalah pemandangan lumrah
yang terlihat di setiap ruangan anggota DPR di Senayan. Anggota DPR juga
seringkali dimintai dana oleh kelompok masyarakat di dapilnya mulai dari
permintaan kostum dan sepatu olahraga sampai permintaan untuk pengerasan jalan
kampung. Alasan warga cukup sederhana: mereka sedang menagih janji anggota DPR
ketika dulu berkampanye. Hal ini menyebabkan banyak anggota DPR takut untuk
bertemu dengan konstituen, sehingga mereka memilik untuk tetap berada di
Jakarta ketika masa reses.
Fakta ini menjelaskan kenapa tingkat keterpilihan kembali (re-election) anggota DPR incumbent pada
pemilu 2009 hanya 36% saja. Artinya mayoritas anggota DPR yang maju kembali
pada pemilu 2009 yang lalu ternyata tidak dikehendaki oleh konstituennya untuk
duduk lagi sebagai wakil mereka. Bandingkan dengan angka keterpilihan kembali
di negara-negara demokrasi maju yang mencapai rata-rata 85%, sedangkan di
Amerika Serikat angka keterpilihan kembali senatornya mencapai 90% (www.opensecrets.org). Hal ini sangat
mungkin terjadi karena senator di Amerika Serikat dikenal sangat dekat dengan
konstituen di districtnya masing-masing.
Oleh karena itu, pendidikan politik untuk calon anggota legislative dan masyarakat
agar benar-benar memahami peran dan fungsi DPR sangat penting untuk dilakukan.
Karena tanpa kesamaan pemahaman antara anggota DPR dengan konstituennya, maka akan
terus terjadi salah paham. Masyarakat akan mengira bahwa setiap anggota DPR
bisa dimintai proposal permohonan dana yang uangnya bisa berasal dari APBN atau
kantong pribadi dan masyarakat mengira itu menjadi salah satu tanggungjawab dan
fungsi DPR, sementara anggota DPR juga akan salah paham kepada konstituennya, mereka
tidak mau turun ke dapil ketika masa reses karena takut dijadikan mesin ATM.
Menyambungkan Tali Representasi
Partisipasi publik secara lebih luas dan massif hanya bisa diciptakan
dengan memaksimalkan masa reses dengan turun berdiskusi dan menyerap aspirasi
masyarakat pada lapisan paling bawah (grass
root), berikutnya transparansi pelaksanaan fungsi anggota DPR dapat
dilakukan dengan website dan media sosial (facebook dan twitter misalnya). Namun
sayang, dari survey yang dirilis Uvolution
Indonesia, dari 560 anggota DPR saat ini, 71,7% memiliki akun facebook
namun 28% diantaranya dikelola orang lain, dan hanya 25,6% yang mempunyai akun
twitter. Itupun, hanya sedikit dari yang memiliki akun facebook dan twitter
tersebut yang secara maksimal memanfaatkan media social sebagai alat
berkomunikasi dan menampung aspirasi dari konstituen dan masyarakat umum.
Pertanggungjawaban kerja DPR kepada rakyat hanya bisa dievaluasi setiap 5
tahun melalui Pemilu, oleh karena itu masyarakat sebagai pemilih harus cermat dan
berhati-hati. Janganlah memilih kembali anggota DPR yang selama ini mengabaikan
konstituennya di daerah pemilihan. Pilihlah anggota DPR yang tidak hanya sering
tampil di TV atau Koran, tetapi yang benar-benar turun ke konstituen dan
menyuarakan aspirasi mereka.
* Penulis (Agung Wasono) adalah Program Manager di Partnership for Governance
Reform (Kemitraan), Jakarta | Tulisan ini pernah dimuat di www.rumahpemilu.org edisi Desember 2013