JAKARTA, GRESNEWS.COM – Pada Pemilu Legislatif (pileg) 9
April 2014, berdasarkan data dari Lembaga Kemitraan, terdapat sebanyak 6608
calon legislatif (caleg) dengan jumlah perempuan sebanyak 2467 atau 37% dan
laki-laki sebanyak 4141 atau 63%. Hingga saat ini persentase keterlibatan
perempuan yang mencalonkan diri dalam pileg jauh lebih kecil dibandingkan
laki-laki. Begitu juga dengan kesempatan perempuan untuk memenangkan kursi di
parlemen dengan sistem pemilu proporsional terbuka. Padahal dalam UU Nomor 8
Tahun 2012 tentang Pemilu mensyaratkan adanya kuota 30% bagi keterwakilan
perempuan di pencalegan.
Program Manager Lembaga Kemitraan Agung Wasono
menjelaskan kalau dibandingkan dengan beberapa negara di Asia Tenggara, dalam
aturannya hanya Indonesia dan Timor Leste yang punya keterwakilan 30%
perempuan. Timor Leste memang banyak belajar undang-undang pemilu dari
Indonesia. Namun pada prakteknya sekarang keterwakilan perempuan di Timor Leste
sudah mencapai 38,46% karena menggunakan daftar tertutup.
"Kalau daftar terbuka yang dipilih calon
legislatif. Kalau yang dipilih caleg, tidak bisa memaksa perempuan untuk sampai
30%," ujar Agung di kantor Kemitraan, Jakarta, Rabu (16/4).
Lebih lanjut, Agung menjelaskan dalam daftar
tertutup seperti yang diterapkan di Timor Leste, pemilih hanya memilih partai
bukan caleg. Adapun nama caleg tidak diumumkan tapi calonnya diurutkan
berdasarkan zipper system yaitu menempatkan 1 perempuan di setiap daftar 3
kandidat. "Di Timor Leste, kalau terpilih empat, pasti ada satu perempuan
di situ. Kelebihan di Indonesia nama calegnya dipublish, surat suara jadi gede
banget, kita seakan-akan terbuka, tapi potensi perempuan masuk ke parlemen jadi
semakin sedikit," tambahnya.
Zipper system menurut Agung menjadi tidak
berpengaruh terhadap keterwakilan perempuan setelah Mahkamah Konstitusi
memutuskan suara terbanyak bagi caleg yang terpilih. "Yang kita bayangkan
untuk zipper system itu menggunakan sistem tertutup seperti Timor Leste. Jadi
kalau terpilih 6 pasti ada 2 perempuan, kalau terpilih 3 ada 1 perempuan,"
katanya.
Ia juga menjelaskan keterwakilan perempuan tidak
bisa hanya dengan melatih dan menempatkan banyak caleg perempuan saja, tapi
sistem pemilu juga harus mendukung. Pemilu dengan sistem terbuka menurutnya
tidak mendukung keterwakilan perempuan di parlemen.
Jika melihat angka perwakilan perempuan pada pemilu sebelumnya, Agung
menunjukkan pada tahun 1999 terdapat kurang lebih 19% kandidat perempuan yang
mengajukan diri di parlemen khususnya tingkat DPR RI. Namun hanya 9% yang mampu
memenangkan kursi di parlemen. Lalu 2004, terjadi peningkatan terhadap
perempuan yang mencalonkan diri dalam pemilu sebanyak 32,3% tapi hanya 11% yang
berhasil mewakili perempuan di parlemen.
Tahun 2009, sebanyak 34,7% mencalonkan diri dan
hanya 18% yang mendapatkan kursi di parlemen. Lebih lanjut, adanya peningkatan
yang signifikan terhadap pencalonan perempuan di parlemen pada tahun 1999
sebanyak 19% ke 32,3% pada 2004 dikarenakan diterapkannya sistem 30% kuota
untuk perempuan. Lalu pada pemilu 2009 dan 2014 baru diterapkan zipper
system.