![]() |
"Seratus Hari" Jokowi | source of image: rappler.com |
Pendahuluan
JUDUL artikel singkat ini sengaja tidak
membubuhkan nama Jusuf Kalla (JK) sehingga menjadi “Seratus Hari Jokowi – JK”
karena selain pusat perhatian publik baik sebelum maupun sesudah Pemilu 2014
fokus ke Jokowi, peran JK sepertinya tidak terlalu signifikan dalam 100 hari
pemerintahan Jokowi ini. Entah apa yang membuatnya demikian, padahal di era
SBY, JK sangat aktif dan menyedot perhatian yang sama besarnya dengan SBY kala
itu.
Tidak terlalu jelas darimana angka
SERATUS ini bisa menjadi salah satu alat ukur keberhasilan sebuah pemerintahan
yang didesign untuk jangka waktu 5 tahun. Kita tidak perlu strict pada hitungan seratus hari itu karena toh belum ada sandarannya secara metodologi. Selain itu, karena
Jokowi dilantik menjadi Presiden pada tanggal 20 Oktober 2014, maka seratus
hari Jokowi sudah jatuh pada tanggal 27 Januari 2015 yang lalu.
Seratus hari memang terlalu singkat
untuk menilai berhasil atau tidaknya sebuah pemerintahan, tetapi dalam waktu
seratus hari itulah sebenarnya masyarakat bisa melihat beberapa pondasi yang
dibangun Jokowi untuk menjalankan roda pemerintahannya lima tahun kedepan. Pada
masa awal pemerintahannya, Jokowi menghabiskan waktunya untuk mendesign
komposisi Kementerian dan kabinet dan juga menyiapkan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk 5 tahun kedepan dari tahun 2015 – 2019.
Sampai saat ini, setidaknya ada beberapa
indikator yang bisa kita analisis untuk memberikan judgment apakah pemerintahan Jokowi ini berada on the right track atau justru sedang melenceng jauh dari janji
semasa kampanye. Kenapa janji saat kampanye menjadi penting? Karena janji atau
visi misi ketika kampanye itulah yang harus mampu dipenuhi dan menjadi program
kerja seluruh Kementerian/Lembaga yang dituangkan dalam RPJMN.
Kabinet
Kerja
Jokowi pada beberapa kesempatan kampanye
berjanji akan menyusun kabinet kerja dan bukan bagi-bagi kursi ke partai
politik (Kompas 2014), namun kalau kita lihat komposisi kabinet di 34 Kementerian
yang terdiri dari 4 Menteri Koordinator dan 30 Menteri, maka kita bisa melihat bahwa komposisi dari partai
politik cukup dominan yakni 16 orang dan 18 orang dari kalangan Profesional
(Tempo 2014). Sementara kalau dilihat lebih teliti, sebenarnya ada 20 Menteri
yang merupakan kader dan rekomendasi partai politik.
Meski demikian, ada hal baru yang
dipraktekkan Jokowi dalam rangka memberikan jaminan agar kabinetnya diisi
orang-orang yang bersih. Jokowi bekerjasama dengan KPK dan PPATK melakukan tracking terhadap nama-nama calon
menteri dan akibatnya delapan calon menteri batal dilantik karena diduga
melakukan korupsi dan berpotensi menjadi tersangka (Tempo 2014). Bahkan cara
baru ala Jokowi ini bisa dilembagakan
dan menjadi norma baru dalam pengangkatan posisi-posisi penting di
pemerintahan.
Reformasi
Birokrasi
Meski tidak mudah untuk dilakukan,
tetapi Jokowi berhasil melakukan beberapa perombakan di Kementerian dengan
melakukan merger beberapa Kementerian
dan Badan seperti penggabungan Kementerian Riset dan Teknologi dengan Kementerian
Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Dasar Menengah dan Kebudayaan, Kementerian
Desa dan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Penggabungan Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), peleburan Badan REDD+ dan Dewan Nasional
Perubahan Iklim (DNPI) dibawah KLHK, juga pembubaran kantor-kantor khusus yang
dibentuk pada masa pemerintahan SBY. Hal ini merupakan langkah positif karena
akan berdampak pada efisiensi anggaran pemerintah dan juga efektifitas kerja
masing-masing sektor.
RPJMN
Menyimpang dari Nawa Cita
Nawa Cita atau Sembilan Program
Prioritas yang menjadi visi-misi Jokowi seharusnya menjadi panduan utama dalam
penyusunan RPJMN. Kesembilan Program Strategis
tersebut adalah: (1) Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap
bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga Negara, (2) Membuat
pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih,
efektif, demokratis, dan terpercaya, (3) Membangun Indonesia dari pinggiran
dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan, (4)
Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang
bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya, (5) Meningkatkan kualitas hidup
manusia Indonesia, (6) Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di
pasar internasional, (7) Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan
sektor-sektor strategis ekonomi domestic, (8) Melakukan revolusi karakter
bangsa, dan (9) Memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial
Indonesia (KPU 2014).
Apabila dibaca lebih jauh, Nawa Cita
juga sudah mempunyai target dan indikatornya masing-masing. Namun sayang, Nawa
Cita yang hampir sempurna sebagai sebuah janji politik tidak mampu menjadi
dokumen perencanaan pembangunan 5 tahun kedepan.
Dalam forum presentasi “Koalisi Pengawal
Nawa Cita” ke Bappenas pada bulan Desember 2014, Koalisi menyampaikan beberapa
temuan bahwa Draft RPJMN menyimpang dari Nawa Cita namun Bappenas beranggapan
bahwa Nawa Cita terlalu ambisius dan tidak realistis dilaksanakan, sehingga
target sengaja diturunkan. Hal ini tentu menyalahi norma bahwa seluruh Kementerian,
termasuk Bappenas, mempunyai tanggungjawab untuk membantu presiden mewujudkan
visi-misinya, karena itulah esensi dari dilaksanakannya Pemilihan Umum.
Beberapa janji Jokowi dalam Nawa Cita
yang akhirnya kandas dalam perencanaan pembangunan nasional itu diantaranya
yakni: target pengurangan ketimpangan dengan gini rasio 0.30, pengurangan impor
bahan baku 5% per tahun, rasio pajak 16% terhadap GDP, Target penurunan
kematian ibu dan anak sampai 102/100.000, wajib belajar 12 tahun, pendidikan
gratis, dan target zero gizi buruk. Hal lain yang nampaknya belum on the right track adalah janji
melakukan reformasi Polri, penguatan peran KPK dan Negara yang hadir untuk
menuntaskan agenda perang terhadap Korupsi.
Penilaian lain terhadap kinerja Jokowi
juga datang dari “Indonesia Beragam”.
Aliansi yang terdiri dari 143 organisasi perempuan ini pada awal bulan Februari
2015 mengeluarkan rapor merah bagi 100 hari Jokowi – JK. Rapor merah itu
berarti arah pemerintahan Jokowi cenderung melenceng dari Nawa Cita (Indonesia
Beragam 2015).
New Kids on the Block
Pada diskusi yang sering diadakan oleh “Koalisi
Pengawal Nawa Cita”, kesimpulan yang muncul adalah Jokowi saat ini dilumpuhkan
oleh para eselon 1 yang masih status quo
di beberapa Kementerian. Pelumpuhan
tersebut sangat mungkin terjadi karena menteri-menteri Jokowi banyak yang
merupakan orang baru dan awam dipemerintahan. Bahkan beberapa orang menyebut
mereka sebagai New Kids on the Block.
Menteri-menteri ini tidak mempunyai kekuatan untuk melakukan konsolidasi
kedalam institusinya masing-masing. Hal lain adalah terjadinya distorsi
informasi dan instruksi hierarkis dari Presiden, Menteri, Eselon 1, Eselon 2, Eselon
3 dst yang mengakibatkan Rencana Strategis Kementerian/Lembaga seringkali tidak
match dengan Visi-Misi Presiden.
Indonesia
bukan Solo
Ekspektasi publik yang tinggi terhadap
Jokowi ternyata tidak terpenuhi dengan baik, padahal Jokowi dikenal sebagai
Walikota Solo yang sukses karena pendekatan sosial kemasyarakatannya. Salah
satu prestasinya yang paling fenomenal adalah memindahkan sekitar 900 pedagang
dari Taman Banjarsari ke Pasar Klithikan tanpa protes berlebih, bahkan acara
perpindahan pedagang dirayakan dengan pawai budaya. Namun, ”diplomasi meja
makan” yang dilakukan Jokowi kala itu adalah diplomasi jangka panjang, karena
Jokowi mengaku mengundang para PKL itu untuk makan bersama lebih dari 50 kali
(Detik 2012).
Berbeda dengan Solo, problem yang
dihadapi di Indonesia lebih komplek dan membutuhkan penanganan dengan segera. Namun,
Jokowi sepertinya masih menggunakan strategi “alon-alon waton klakon” atau biar lambat asal selamat. Kasus yang
masih panas adalah konflik kelembagaan yang terjadi antara KPK dengan Polri.
Konflik lembaga ini menjadi ujian kepemimpinan Jokowi, namun sikap Jokowi yang
tidak tegas dan cenderung tidak mempunyai solusi membuktikan bahwa Jokowi
memang belum mampu mengimbangi dinamika yang begitu cepat terjadi di tingkat
nasional dan cenderung tunduk pada kekuatan oligarki di sekitarnya.
Kembali
ke Nawa Cita
Satu-satunya cara yang harusnya
dilakukan Jokowi adalah kembali kepada Janji-janji politiknya ketika kampanye.
Janji-janji itulah yang telah membuat puluhan barisan relawan bekerja untuk
kemenangan Jokowi pada pemilu 2014 dan membuatnya memang pemilu. Salah satu
jargon nawa cita adalah “Negara yang hadir” dalam setiap problem yang dihadapi
bangsa ini baik itu sosial, politik, ekonomi, budaya, kemaritiman, pendidikan,
kesehatan, dsb.
Selain itu, penting bagi Jokowi untuk
tidak tunduk pada kepentingan Oligarki atau kelompok pemburu rente. Jokowi
perlu mengingat bahwa sebagai Presiden dirinya dipilih oleh rakyat bukan dengan
cek kosong, tetapi ada mandat yang harus dilaksanakan.
Ditulis oleh: Agung Wasono
* Pernah diterbitkan di Majalah AKTIVIS edisi kedua terbitan PPIA (Perhimpunan Pelajar Indonesia di Australia) -- edisi lengkap Majalah ini bisa diunduh di https://issuu.com/aktivis/docs/aktivis_2
***
Tentang Penulis:
Pekerjaan: Direktur
Eksekutif LANSKAP Indonesia (Lembaga Analisis Ekonomi Politik dan Kebijakan
Publik), sebelumnya Program Manager di Partnership
for Governance Reform (NGO di Jakarta). Pendidikan: Fakultas
Syariah dan Hukum di UIN Yogyakarta, Pro Poor Integrity di Central European
University (CEU) Budapest Hungary, Magister Perencanaan Kebijakan Publik di
Universitas Indonesia, dan saat ini sedang kuliah di UNSW di Australia. Aktivitas lain: Anggota
Koalisi Pengawal Nawa Cita, Mantan Koordinator Nasional Pemantau Pemilu 2014
(Kemitraan, terakreditasi di KPU). Kontak: agung.wasono@gmail.com | Twitter:
@agungwasono